MENJAGA KESUBURAN TANAH TANPA PUPUK KANDANG

Hal yang sangat lumrah apabila kesuburan tanah atau lahan pertanian di pertahankan atau ditingkatkan melalui pemanfaatan pupuk organik yang berasal dari kotoran ternak (pupuk kandang). Tetapi jika melihat kondisi tidak semua petani memiliki ternak maka untuk mendapatkan pupuk tersebut tidaklah mudah, besar kecilnya usaha untuk mendapatkan pupuk kandang tersebut bisa menjadi faktor aplikasi pupuk organik untuk menjaga kesuburan tanah. Untuk itu perlu alternatif yang daat dipergunakan oleh petani, khususnya petani yang tidak memiliki ternak untuk tetap dapat menyuburkan lahan pertaniannya. Berikut akan saya ulas pemanfaatan tanaman paitan/kipahit (Thitonia diversifolia) dengan teknik tanam lorong (Alley cropping) untuk menjaga kesuburan tanah.

Kondisi lahan pertanian yang mengalami degradasi akan menyebabkan produktivitas hasil pertanian menurun atau tidak sesuai dengan harapan. Padahal ke depan kita menghadapi tantangan untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat dan mensejahterakan masyarakat desa sebagai produsen bahan pangan. Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut maka harus ada upaya untuk memperbaiki kondisi lahan dan mencegah terjadinya degradasi lahan. Nasib petani di desa juga harus diperhatikan dengan upaya menurunkan biaya produksi, meningkatkan produktivitas panen dan kualitas panen, sehingga nilai jual produk pertanian bisa lebih baik.

Staben et al. (1997) dalam Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2014) menyatakan bahwa degradasi tanah akibat pengolahan tanah dimanifestasikan melalui erosi, penurunan kadar bahan organik tanah, kehilangan hara, pemadatan tanah, dan penurunan populasi mikroorganisme. Hal tersebut terjadi karena penerapan intesifikasi pertanian yang kurang bijak dan penggarapan lahan pertanian tanpa mempertimbangkan konservasi.

Intensifikasi pertanian yang kurang bijak ditandai dengan penggunaan pupuk kimia dan racun kimia secara berlebihan. Menurut Nurruohman, dkk (2018) Penggunaan bahan kimia tersebut dalam jangka waktu yang lama akan meninggalkan residu yang berdampak negatif baik bagi tanah, tanaman, dan organisme lain yang ada di lingkungan tersebut. Salah satu residu yang berdampak negatif terhadap kehidupan mesofauna dan makrofauna tanah adalah organofosfat. Organofosfat merupakan kelompok insektisida terbesar yang sangat beracun bagi serangga dan bersifat sebagai racun kontak, racun perut, dan fumigant. Racun-racun ini sering digunakan oleh petani di desa hingga sekarang untuk membasmi hama dan dosisnya selalu bertambah karena ada resistensi dari hama tersebut. Ini tentu akan menimbulkan efek negatif pada lahan pertanian dan meingkatnya biaya produksi petani. Oleh karena itu kebiasaan intensifikasi secara berlebihan ini harus mulai dikurangi karena pada dasarnya keseimbangan ekosistem di alam akan menunjang keberhasilan usahatani yang dilakukan petani, dengan masih terpeliharanya mesofauna dan makrofauna maka tanah menjadi subur dan pertumbuhan tanaman menjadi sehat, tanaman tidak akan mudah terserang hama dan penyakit.

Petani yang sudah beratani lama yang merupakan pelaku utama dalam kegiatan usahatani akan dapat bercerita berdasarkan pengalaman yang mereka alami, membandingkan kondisi lahan pertaniannya antara kondisi lampau sebelum penerapan intensifikasi pertanian di tahun 1970an dengan kondisi sekarang setelah kurang lebih 48 tahun. Lahan pertanian sudah tidak subur lagi, lingkungan yang mulai rusak, jarang ditemukan hewan seperti ikan dan belut di lahan pertanian. Selain itu perlu dilakukan kegiatan edukasi kepada petani melalui penyuluhan dan pelatihan agar petani mulai sadar dampak negatif penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia secara berlebihan. Bukan hanya dampak kepada lahan pertanian tetapi juga dampak terhadap kenaikan ongkos produksi tapi juga terhadap kesehatan petani sendiri karean patani juga menjadi konsumen terhadap produk yang dihasilkannya.

Tumbuhnya kesadaran akan dampak negatif penggunaan pupuk buatan dan sarana pertanian modern lainnya terhadap lingkungan pada sebagian kecil petani telah membuat mereka beralih dari pertanian konvensional ke pertanian yang ramah lingkungan. Pertanian jenis ini mengandalkan kebutuhan hara melalui masukan-masukan alami seperti pupuk hayati dan pupuk organik serta pengolahan tanah dengan kaidah konservasi. Pengetahuan masyarakat tentang pupuk hayati dan pupuk organik memberikan harapan baru bagi pemanfaatan sumber pupuk selain pupuk anorganik dan demonstrasi plot memberikan keterampilan pemanfaatan limbah organik seperti jerami padi menjadi pupuk organik atau kompos secara cepat dan berkualitas. Selain itu,  pengetahuan olah tanah konservasi memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk mengolah tanah secara bijak sehinga kegiatan pertanian yang dilakukan masyarakat lebih bersifat lestari dan berkelanjutan (Herdiyanto dan Setiawan, 2015).

Usaha konservasi tanah yang berpotensi erosi pada umumnya dilakukan melalui terasering / teknik penterasan. Menurut Susilowati, dkk (1997) Teknik penterasan selama ini dinilai cukup efektif untuk menekan laju erosi, namun dalam penyebarluasarmya ke petani banyak mengalami hambatan terutama karena biaya  pembuatan teras yang relatif tinggi. Demikian pula secara teknis teknologi penterasan tidak dapat diterapkan pada semua kondisi tanah, terutama pada tanah bersolum dangkal clan beibatu. Dalam prakteknya faktor-faktor di atas seringkali Input dari pertimbangan pars perencana, sehingga usaha konservasi tanah sering mengalami kegagalan. Dengan demikian faktor biaya dan kesesuaian teknologi introduksi dengan kondisi setempat merupakan variabel kunci bagi suksesnya usaha konservasi tanah. Berbagai usaha telah dilakukan untuk menjajagi kemungkinan teknik konservasi dengan biaya yang lebih murah dibanding teknik penterasan dan sesuai dengan kondisi setempat. Salah  satunya adalah teknologi sistem budidaya lorong (alley cropping).

Alley cropping merupakan teknik konservasi vegetatif, di mana tanaman pangan ditanam pada lorong-lorong di antara pohon atau semak legum yang membentuk pagar. Menurut Haryati U (2002) dalam Mulyono (2010) Dalam pertanian sistem budidaya lorong akan terjadi interaksi yang saling menguntungkan antara tanaman pagar dengan tanaman pokok,  antara lain adalah: (a). Serasah dari tanaman pagar berperan menurunkan kehilangan air melalui evaporasi dari permukaan tanah sehingga akan memperbaiki kelembaban tanah, (b). Naungan tanaman pagar dapat menekan pertumbuhan gulma (misalnya Imperata cylindrica) sehingga akan mengurangi resiko kebakaran pada musim kemarau, dan  (c). Tanaman pagar (khususnya dari jenis  leguminosa) dapat mengikat unsur nitrogen (N) secara biologis dari udara sehingga akan menurunkan kebutuhan pupuk nitrogen.

Ada berbagai macam tanaman yang dapat dipergunakan dalam Alley cropping, tanaman yang dipergunakan memiliki dua fungsi yaitu untuk konservasi lahan dari erosi dan penyubur lahan pertanian, maka harus memiliki ciri-ciri : (a) memiliki perakaran yang dalam, sehingga tidak menjadi pesaing bagi tanaman pangan/semusim, (b) setelah pemangkasan cepat bertunas kembali, (c) menghasilkan bahan hijauan dalam jumlah banyak dan terus menerus, sebagai sumber pupuk hijau atau pakan ternak, (d) mampu meningkatkan kandungan nitrogen dalam tanah dan kandungan hara lainnya.

Tanaman yang memiliki potensi pengembangan sebagai Alley cropping salah satunya adalah ki pahit / Paitan (Tithonia diversifolia ). Tanaman ini memiliki kemampuan untuk memproduksi biomassa yang sangat besar apalagi di musim penghujan, menurut Cong (2000) dalam Lestari (2016) tumbuhan Tithonia diversifolia dapat menghasilkan biomass yang tinggi, yaitu 1,752,0 kg/m /tahun. Karakter yang lain dari Tithonia diversifolia mampu tumbuh pada lahan yang miskin unsur hara, bisa tumbuh di ketinggian 2-1000mdpl, perbanyakan sangat mudah bisa dengan stek batang, dan biasanya tersebar hampir di seluruh desa sebagai tanaman liar atau gulma.

Penggunaan Tithonia diversifolia sebagai pupuk organik mempunyai beberapa keunggulan, ditinjau dari beberapa aspek: 
(1) Pemanfaatan pangkasan Tithonia diversifolia sebagai mulsa, disebarkan di permukaan tanah sebagai penutuptanah mampu mengendalikan gulma, di samping fungsi utamanya mengurangi penguapan air tanah dan mengurangi fluktua si suhu tanah. Mulsa paitan cepat mengalami dekomposisi dan haranya terdaur ulang, sehingga menambah kesuburan tanah.
(2) Pemanfaatan pangkasan Tithonia diversifolia sebagai bahan kompos. Pemberian kompos penting bagi perbaikan sifat fisik, kesuburan kimiawi (peningkatan kadar N, P, K, dan Mg tanah) dan peningkatan kehidupan biota tanah, sehingga meningkatkan kualitas tanah. 
(3) Pemanfaatan pangkasan Tithonia diversifolia sebagai pupuk hijau dan substitusi pupuk anorganik.
Thitonia diversifolia / Paitan/Kipahit
 Tithonia diversifolia memiliki ciri-ciri tanaman yang bisa dijadikan Alley cropping , hasil aplikasi pemupukan menggunakan Tithonia diversifolia  memiliki dampak nyata terhadap perbaikan kesuburan tanah. Semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan sebagai pupuk mulai dari daun, batang dan akar. Daun Tithonia diversifolia   dapat dimanfaatkan dengan cara dikomposkan terlebih dahulu, dikeringkan atau langsung di sebarkan sebagai pupuk hijau tanpa di keringkan terlebih dahulu. Menurut Lestari (2016) Sebagai sumber pupuk organik, bagian tanaman paitan yang digunakan adalah batang atau akar. Penggunaan bagian daun paitan sebagai pupuk organik tidak dianjurkan sebelum atau saat tanam, melainkan diaplikasikan 3 MST agar tanaman muda tidak terganggu oleh sifat alelopati dari daun paitan. Ngu Yen VS et al. (2010) dalam Purwani (2010) , melaporkan terjadinya peningkatan kandungan hara pada tanah setelah ditanam Tithonia diversifolia.
Terjadi perbaikan kimia tanah dari penanaman Tithonia diversifolia, tanaman ini termasuk hijauan yang pangkasan daun serta batangnya bisa di pergunakan untuk menutup tanah, dekomposisi pangkasan tersebut memiliki pengaruh yang baik bagi perbaikan tanah. Hal ini sesuai dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (2014) bahwa  salah satu upaya peningkatan cadangan karbon dalam tanah yang dapat ditempuh adalah penggunaan bahan-bahan yang tersedia di lokasi setempat atau bersifat in situ. Sumber bahan organik yang potensial dapat dikelompokkan berdasarkan sumber bahan baku tersebut, yaitu sisa tanaman (jerami, brangkasan, tandan kosong sawit, kulit buah kakao, dan tempurung kelapa), sisa hasil pertanian (sekam padi, kulit kacang tanah, ampas tebu, dan blotong), kotoran ternak (sapi, kambing, kuda, ayam, dan babi), dan sampah kota. Sumber bahan organik tersebut sebagian dapat diaplikasikan langsung tanpa melalui poses pengomposan seperti hijauan legume (azola, flemingia, sesbania, dan mukuna) dan limbah jamur.
Tithonia diversifolia merupakan tanaman potensial yang bisa dijadikan sebagai pembenah tanah dibandingkan dengan sisa tanaman seperti jerami, kotoran ternak dan sampah kota. Kandungan hara pada paitan (Tithonia diversifolia)  lebih tinggi dibandingkan dengan kotoran ayam dan jerami padi. Disamping itu pemanfaatan bahan organik pembenah tanah selain Tithonia diversifolia memiliki kendala hasil panenan ikut terangkut keluar dari lahan pertanian untuk makanan ternak, sehingga sedikit yang bisa dimanfaatkan. Kotoran ternak terkendala jumlah dan jenis ternak yang diusahakan serta tidak semua petani memiliki ternak. Sampah kota memiliki ancaman cukup mengkhawatirkan karena banyak mengandung bahan berbahaya seperti misalnya logam berat dan asam-asam organik yang dapat mencemari lingkungan. Selama proses pengomposan, beberapa bahan berbahaya ini justru terkonsentrasi dalam produk akhir pupuk. Dapat dikatakan bahwa Tithonia diversifolia adalah pupuk yang mudah dan murah bagi petani di desa. Menurut Raraduma et al (2016) pupuk hijau Tithonia diversifolia bisa menjadi alternatif solusi untuk pupuk mineral yang umumnya sangat mahal dan tidak terjangkau untuk petani miskin.

Lebih lanjut menurut Nariratih dkk (2013) penggunaan bahan organik berbeda  memberikan dampak pertumbuhan yang berbeda, karena bahan organik mampu memperbaiki sifat  fisika, kimia dan biologi tanah. Dimana secara kimia bahan organik dapat meningkatkan  ketersediaan unsur hara N dan hara lainnya, sehingga semakin cepat bahan organik terdekomposisi maka semakin cepat unsur hara tersedia bagi tanaman. Hasil penelitian yang tersaji dalam tabel 3 menunjukkan penambahan Tithonia diversifolia memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah daun, dan menurunkan intensitas penyakit karat dibandingkan dengan penambahan Centrosema pubescens atau perlakuan kotoran ayam secara tunggal. Hal ini menujukkan terjadi sinkroni antara ketersediaan hara dengan kebutuhan hara oleh tanaman melalui aplikasi Tithonia diversifolia.
Bentuk aplikasi Tithonia diversifolia ternyata memiliki pengaruh terhadap hasil tanaman. Dalam tabel 4 terlihat bahwa aplikasi Tithonia diversifolia secara di cacah memberikan pengaruh bagus terhadap pertumbuhan tanaman Okra (Abelmonchus esculentus) pada musim penghujan dan aplikasi dikeringkan memberikan pengaruh bagus terhadap pertumbuhan tanaman Okra (Abelmonchus esculentus ) pada musim kemarau. Selanjutnya menurut Akobundu. (1987) ; Obatolu CR et al. (1995) dalam Purwani (2010) Kenampakan tanaman yang kurus dalam pot yang diperlakukan dengan abu Tithonia diversifolia disebabkan karena menurunnya konsentrasi N pada abu, akibat penguapan yang dihasilkan dari pembakaran. Pembakaran juga menyebabkan penurunan kandungan bahan organik tanah akibat hilangnya karbon organik (C) selama pembakaran. Proses pembakaran ternyata malah menghilangkan sebagian besar hara yang terkandung dalam tumbuhan, sehingga pembakaran tidak dianjurkan untuk proses pengembalian bahan organik ke tanah.
Proses menuju pertanian yang berkelanjutan melalui pemanfaatan Tithonia diversifolia  merupakan langkah yang tepat. Penggabungan pemberian pupuk NPK dengan Tithonia Diversifoliameningkatkan produksi jagung dan selada dibandingkan dengan pupuk NPK saja (Purwani, 2010). Pada lahan yang sudah kritis tidak mungkin petani langsung meninggalkan pupuk kimia karena hasil panennya pasti akan turun. Melalui pemanfaatan Tithonia diversifolia  akan terwujud pertanian berkelanjutan dengan mengurangi input pupuk kimia secara perlahan-lahan sambil tetap memperhatikan perbaiakn kondisi kesuburan tanah dengan pengembalian bahan organik ke lahan. Penyediaannya sebagai bahan organik secara in situ melalui  alley cropping akan memacu perkembangan pemanfaatan tanaman ini mengingat sampai saat ini usaha budidaya Tithonia diversifolia belum dilakukan dan masih mengandalkan yang tumbuh liar, disamping itu penggunaannya tidak berbenturan dengan penggunaan lainnya seperti pakan ternak sehingga kemungkinan terpenuhinya bahan organik pada suatu lahan menjadi lebih pasti.

Teknik budidaya lorong (alley cropping) telah lama dikembangkan dan diperkenalkan sebagai salah satu teknik konservasi tanah dan air untuk pengembangan sistem pertanian berkelanjutan pada lahan kering dan lereng pegunungan untuk menggantikan pembuatan teras bertingkat, namun belum diterapkan secara meluas oleh petani. Susilowati (1997) menyebutkan bahwa beberapa kendala yang selarna ini seringkali dialami dalam pengembangan teknologi konservasi alley  cropping di antaranya adalah relatif kecilnya luas lahan yang dikuasai petani, dana yang terbatas untuk melakukan teknologi tersebut, penyediaan input produksi yang sering kali belum sesuai dengan kebutuhan petani dan kurangnya  penyuluhan dan informasi dalam penyebarluasan teknologi kepada petani.

Mengatasi hal tersebut pemilihan jenis tanaman merupakan faktor utama yang harus diperhatikan, karena tanaman ini akan mengatasi masalah dalam penyediaan input produksi dan kebutuhan dana untuk melakukan teknologi. Tanaman yang memiliki produktifitas biomass tinggi, mudah perawatan dan pengembangbiakannya serta memiliki kandungan unsur hara yang tinggi adalah Tithonia diversifolia. Dalam hal penyuluhan maka penting untuk dilakukan demonstrasi plot pada lahan petani pemilik lahan, karena hasil yang dinikmati baru terasa dalam jangka panjang. Status penguasaan lahan merupakan faktor yang menentukan partisipasi petani dalam kegiatan konservasi menggunakan alley  cropping.

Lebih jauh lagi, penelitian yang dilakukan oleh Wynne Thurne dalam Mulyono (2010) bahwa pemberian biomas dalam budidaya lorong mampu meningkatkan hasil jagung secara nyata karena biomas yang sudah terdekomposisi  akan mengikat aluminium (Al) tanah menjadi  senyawa khelat yang kompleks sehingga tidak meracuni tanaman. Dampak dari kasus ini adalah mengurangi kebutuhan kapur dalam jumlah banyak, dimana fungsi kapur akan menetralkan tanah yang bisa digantikan dengan biomas yang diperoleh dari  hasil  pangkasan tanaman pagar. Dengan demikian pertanian budidaya lorong (Alley cropping) ini sangat efektif untuk konservasi lahan, seperti: mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah serta dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan.

Pada budidaya lorong konvensional, tanaman pertanian ditanam pada lorong-lorong di antara barisan tanaman pagar secara rapat dengan jarak tanam 10-25cm tergantung pada jenis tanaman pagarnya dan ditanam menurut kontur.  Barisan tanaman pagar yang rapat diharapkan dapat menahan aliran permukaan serta erosi yang terjadi pada areal tanaman budidaya, sedangkan akarnya yang dalam dapat menyerap unsur hara dari lapisan tanah yang lebih dalam untuk kemudian dikembalikan ke permukaan melalui pengembalian sisa tanaman hasil pangkasan tanaman pagar. Menurut Anonim (2007) dalamMulyono (2010) Dalam waktu yang relatif tidak lama sekitar tiga sampai empat tahun sejak tanaman pagar ditanam biasanya telah terbentuk teras secara alami sehingga teras jenis ini sering disebut sebagai teras kredit yang berguna dalam menahan erosi tanah.

Berikut ini adalah contoh Budidaya lorong dengan keunggulannya dalam mengendalikan erosi. Teknologi ini cukup efektif mengendalikan erosi, dan dapat meningkatkan serta mempertahankan produktivitas tanah. (Arinong, 2012).
konsep budidaya lorong (Alley cropping)
Keterangan :
  1. Serasah hasil pangkasan atau guguran daun
  2. Tumpukan tanah yang tersaring
  3. Permukaan tanah asli
1. Serasah di atas permukaan tanah dapat melindungi permukaan tanah dari pukulan butir-butir hujan dan menahan laju erosi;
2. Legum dipangkas tiap 1-2 bulan, hasil pangkasan (bahan hijau) dapat digunakan untuk pupuk, atau pakan ternak, sedangkan ranting-rantingnya untuk kayu bakar;
3. Bahan hijau yang telah melapuk akan memberikan tambahan unsur hara dan C-organik, yang akan diserap tanaman utama atau;
4.  Hara tersebut sebagaian akan tercuci/terperkolasi ke lapisan tanah yang lebih dalam;
5.  Perakaran tanaman legum dapat menyerap hara dari lapisan tanah yang lebih dalam;
6.Tanaman legum dengan bintil akarnya dapat memperbaiki kandungan nitrogen tanah;
7. Limbah tanaman utama dapat dikembalikan ke lahan usahatani atau untuk pakan ternak.

Pengembangan budidaya tanaman dengan memanfaatkan pupuk hijau dari tanaman pagar melalui proses mengembalikan kesuburan tanah secara in situ akan meningkatkan pendapatan petani karena biaya produksi bisa ditekan dengan semakin berkurangnya pemakaian pupuk kimia secara bertahap. Cara ini juga membuat petani semakin mandiri untuk tidak tergantung dengan pupuk subsidi yang terkadang mengalami kelangkaan pada beberapa daerah. Penggunaan Tithonia diversifolia yang merupakan bahan organik potensional mudah ditemukan di desa-desa sebagai tanaman liar dan tumbuh di lereng-lereng bukit atau pinggir jalan dapat menjadi bahan organik utama atau bahan pelengkap bagi bahan organik dari kotoran ternak, sehingga petani tidak akan terhambat dalam penenuhan bahan organik di lahan akibat ketersedian yang terbatas pada kotoran ternak.

KESIMPULAN :
Untuk memperoleh produktivitas hasil pertanian yang optimal dibutuhkan C-organik >2,5%. Kebiasaan petani mengelola lahan sawah dengan memasukkan input kimia dalam bentuk pupuk dan pestisida secara berlebihan tanpa diimbangi penambahan bahan organik menjadikan tanah semakin terdegradasi hingga kandungan C organiknya < 1%. Di lain sisi Indonesia sebagai negara tropika basah yang memiliki sumber bahan organik sangat melimpah,  terutama Tithonia diversifolia tetapi belum dimanfaatkan secara optimal.

Tithonia diversifolia adalah tanaman termasuk dalam hijauan yang pangkasan daun serta batangnya bisa di pergunakan untuk menutup tanah, dekomposisi pangkasan tersebut memiliki pengaruh yang baik bagi perbaikan tanah. Proses dekomposisi yang cepat pada Tithonia diversifolia maka semakin cepat unsur hara tersedia bagi tanaman, menujukkan terjadi sinkroni antara ketersediaan hara dengan kebutuhan hara oleh tanaman. Aplikasi yang memberikan hasil terbaik adalah dengan cacahan daun segar atau dikeringkan dan disebar secara merata di lahan.

Penyediaannya sebagai bahan organik secara in situ melalui  alley cropping akan memacu perkembangan pemanfaatan Tithonia diversifolia sehingga kemungkinan terpenuhinya bahan organik pada suatu lahan menjadi lebih pasti. Bahan organik merupakan salah satu faktor pembatas yang sangat berperan  untuk menambah hara dan sebagai penyangga hara. Penambahan bahan organik dapat meningkatkan daya menahan air tanah, mempertahakan kualitas sifat fisik tanah sehingga membantu perkembangan perakaran tanaman dan penyediaan energi bagi berlangsungnya aktivitas organisme.

Pengembangan budidaya tanaman dengan memanfaatkan pupuk hijau dari tanaman pagar melalui proses mengembalikan kesuburan tanah secara in situ akan meningkatkan pendapatan petani karena biaya produksi bisa ditekan dengan semakin berkurangnya pemakaian pupuk kimia secara bertahap. Pertanian budidaya lorong (Alley cropping) ini sangat efektif untuk konservasi lahan, seperti: mengendalikan erosi, memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah, aktivitas biologi tanah serta dapat meningkatkan dan mempertahankan produksi tanaman pangan yang berdampak pada pendapatan petani di desa.



Daftar Pustaka


Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2014 Konservasi Tanah menghadapi Perubahan Iklim. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta.

Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. 2006. Pupuk Organik Dan Pupuk Hayati : organik fertilizer and biofertilizer. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Lahan Pertanian. Bogor.

Hartati, Sri., Jauhari Syamsiah dan Elen Erniasita. 2014. Imbangan Paitan (Tithonia diversifolia) Dan Pupuk Phonska Terhadap Kandungan Logam Berat Cr Pada Tanah Sawah. Jurnal Ilmu Tanah dan Agroklimatologi 11 (1) 21-28.

Herdiyanto, D. dan Setiawan, A. 2015. Upaya Peningkatan Kualitas Tanah Melalui Sosialisasi Pupuk Hayati, Pupuk Organik, Dan Olah Tanah Konservasi Di Desa Sukamanah Dan Desa  Nanggerang  Kecamatan Cigalontang Kabupaten Tasikmalaya  . Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat Vol. 4, No. 1, (47 – 53).

Hutapea, Johnny Ria. DR, dkk. 1994. Inventaris Tanaman Obat Indonesia (III). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Jakarta.

Hutomo, Irfan Priyo., Mahfudz dan Syamsuddin Laude. 2015. Pengaruh Pupuk Hijau Tithonia diversifolia Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Jagung (Zea mays L.). e-J. Agrotekbis 3 (4) : 475-481.

Juarsah, Ishak. 2014. Pemanfaatan Pupuk Organik untuk Pertanian Organik dan Lingkungan Berkelanjutan. Tersedia di http://balittro.litbang.pertanian.go.id/wp-content/uploads/2015/10/16-Ishak-Pemanfaatan-Pupuk-Organik-Berkelanjutan.pdf [02/01/2019].

Lestari, Sri Ayu Dwi. 2016. Pemanfaatan Paitan (Tithonia diversifolia) Sebagai Pupuk Organik Pada Tanaman Kedelai. Iptek Tanaman Pangan Vol 11 No 1 (49-56).

Mulyono, Daru. 2010. Pengembangan Pertanian Budidaya Lorong (Alley Cropping) Untuk Konservasi Lahan Kritis  Di Hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimanuk, Jawa Barat. Jurnal Teknik Lingkungan. Vol 11 No 2 (283-291).

Nariratih, Intan., MMB Damanik dan Gantar Sitanggang. 2013. Ketersediaan Nitrogen Pada Tiga Jenis Tanah Akibat Pemberian Tiga Bahan Organik Dan Serapannya Pada Tanaman Jagung. Jurnal Online Agroekoteknologi Vol.1, No.3, 479-488.

Nurrohman, Endrik., Abdulkadir Rahardjanto dan Sri Wahyuni. (2018). Studi Hubungan Keanekaragaman Makrofauna Tanah dengan Kandungan C-Organik dan Organophosfat Tanah di Perkebunan Cokelat (Theobroma cacao L.) Kalibaru Banyuwangi. Jurnal Bioeksperimen. Vol. 4 (1) Pp. 1-10.

Pangaribuan, Darwin H., Niar Nurmauli dan Sarno. 2016. Penyuluhan dan Demplot Teknologi Pertanian Organik Dengan Demonstrasi Aplikasi Pupuk Organik Cair dan Biopestisida Di Desa Braja Caka Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat Vol 22 No. 3 (88-95).

Purwani, J. 2010.  Pemanfaatan Tithonia diversifolia (Hamsley) A Gray untuk Perbaikan Tanah. Tersedia di http://balittanah.litbang.pertanian.go.id/ind/dokumentasi/prosidingsemnas2010/jati.pdf?secure=true [03/01/2019].

Raraduma, Capitoline et al. 2016. Tithonia diversifolia, Potential Alternative Solution to the Lack and High Cost of Fertilizers for Common bean Production : Case of Moso Region of Burundi. Tersedia di http://www.pabra-africa.org/wp-content/uploads/dlm_uploads/2016/03/Tithonia-diversifolia-Potential-Alternative-Solution-to-the-Lack-and-High-Cost-of-Fertilizers-for-Common-bean-Production-Case-of-Moso-Region-in-Burundi-Ruraduma-et-al-ISABU.pdf [02/01/2019].

Sukmawati . 2015.Analisis Ketersediaan C-Organik Di Lahan Kering Setelah Diterapkan Berbagai Model Sistem Pertanian Hedgerow. Jurnal Galung Tropika, 4 (2) hlmn. 115-120.

Susilowati, Sri Hery., Gelar Satya Budhi, dan I Wayan Rusastra . Kinerja Dan Perspektif Usahatani Konservasi Alley Cropping Di Indonesia . FAE. Vol. 15 No. 1 & 2 (1-16).

Yuhaeni, S., dkk . 1997 . Pertanaman Lorong (Alley Cropping) Leguminosa DenganRumput Pakan Temak : Pengaruh Jenis Rumput Dan Jarak Larikan Glirisidia Terhadap Pertumbuhan Dan Produksi Hijauan Pakan. Jurnal Ilmu Ternak dan Veteriner 2 (4) : 242-249 .

Komentar

Postingan populer dari blog ini

WISATA KAMPUNG AIR KRAGILAN

CARA MENGANTISIPASI KEKURANGAN OKSIGEN DI KOLAM IKAN NILA

MEMBUAT BIOGAS DARI ENCENG GONDOK (Eicchornia crassipes)